Sekali Lagi Baitul Hikmah

Di rumah ini kita pernah merasakan tertekan

Ketika darah muda dan jiwa berontak rindukan kebebasan

Kita sama-sama pernah berdiri di bawah terik mentari

Kita sama-sama pernah mendekam di kolam belakang pondok putri

Perut kita dipaksa makan asal kenyang

Kita dibentak ketika asik bercumbu dengan angan

Bahkan nikmat tidurpun tak pernah kita temukan

Sadarlah kawan... itu bukan hukuman itu bukan siksaan

Renungkanlah kawan itu hanya sedikit gambaran dari realita yang nyata

Kita memang pernah sama-sama teteskan air mata

Tapi itu bukan derita 

dan itu tak pantas kita gambarkan dalam prosa

Sekarang setelah gerbang kebebasan terbuka lebar

Kita disini menyaksikan banyak orang terkapar lapar

Sungguh tak pantas jika dulu kita memaki nasi dan sayur sunami

Memalukan sekali jika dulu kita memarahi gerbang pembatas suci

Seharusnya kita menyesal kawanku

Ketika kita belum siap berlayar mengarungi samudra kebebasan yang tak malu malu

Sungguh tak pantas jika dulu kita mengangap masa lalu sebagai benalu

Tak pantas dan sungguh tak tau malu...

Tahukan kawan kenapa dulu gerbang itu tak dibuka ?

Mereka itu khawatir karena diluar sana banyak ular-ular berbisa

Mereka takut jika kita anak-anak manja termangsa ganasnya dunia

Sekarang marilah kita rapatkan barisan lalu berbenah

Lupakan semua amarah gantikan dengan sikap ramah tamah

Terimakasih saja tak cukup untuk mereka dan Baitul Hikmah

Karenanya kita tau mana benar dan mana salah 

Ilmunya, nasihatnya, didikannya, bahkan bentakan bernada amarah

Telah menyatu dalam daging dan mengalir dalam darah

Membentuk jiwa, mental, dan akal pikiran yang ramah

Sekali lagi Baitul Hikmah..


Cirebon, 15 Oktober 2015 
-Fajar Rahmawan-

Di rumah ini kita pernah merasakan terterkan Ketika darah muda dan jiwa berontak rindukan kebebasan Kita sama-sama pernah berdiri di bawah terik mentari Kita sama-sama pernah mendekam di kolam belakang pondok putri Perut kita dipaksa makan asal kenyang Kita dibentak ketika asik bercumbu dengan angan Bahkan nikmat tidurpun tak pernah kita temukan Sadarlah kawan... itu bukan hukuman itu bukan siksaan Renungkanlah kawan itu hanya sedikit gambaran dari realita yang nyata Kita memang pernah sama-sama teteskan air mata Tapi itu bukan derita dan itu tak pantas kita gambarkan dalam prosa Sekarang setelah gerbang kebebasan terbuka lebar Kita disini menyaksikan banyak orang terkapar lapar Sungguh tak pantas jika dulu kita memaki nasi dan sayur sunami Memalukan sekali jika dulu kita memarahi gerbang pembatas suci Seharusnya kita menyesal kawanku Ketika kita belum siap berlayar mengarungi samudra kebebasan yang tak malu malu Sungguh tak pantas jika dulu kita mengangap masa lalu sebagai benalu Tak pantas dan sungguh tak tau malu... Tahukan kawan kenapa dulu gerbang itu tak dibuka ? Mereka itu khawatir karena diluar sana banyak ular-ular berbisa Mereka takut jika kita anak-anak manja termangsa ganasnya dunia Sekarang marilah kita rapatkan barisan lalu berbenah Lupakan semua amarah gantikan dengan sikap ramah tamah Terimakasih saja tak cukup untuk mereka dan Baitul Hikmah Karenanya kita tau mana benar dan mana salah Ilmunya, nasihatnya, didikannya, bahkan bentakan bernada amarah Telah menyatu dalam daging dan mengalir dalam darah Membentuk jiwa, mental, dan akal pikiran yang ramah