Syeikh Abdul Munaf Bakrin, Penyebar Thariqah Naqsyabandiyah di Sumbar

Sumatera Barat Ranah Minang yang terkenal dengan Adat bersandi Syarak, Syarak bersandi Kitabullah yang dipimpin oleh Tigo Tungku Sajarangan, Ulama, Penghulu dan Cadik Pandai. Para ulama di ranah Minang, sebagai panutan umat biasanya mempunyai keahlian dalam ilmu Syariat, ilmu Thariqat dan seringkali pula melengkapi diri dengan ilmu Pencak Silat. Kisah yang akan kita ikuti kali ini adalah salah satu contoh peran ulama di ranah Minang, dalam membina umat di tengah berbagai goncangan zaman.

Di daerah Pesisir Selatan yang dulu dikenal Banda Sapuluh kemudian Pesisir Selatan dan Kerinci, bermukim seorang ulama panutan umat yang dikenal seluruh lapisan masyarakat yakni Syeikh Abdul Munaf Bakrin yang terkenal dengan panggilan Tuanku lebih populer lagi dengan Buya Lubuk, yang mulanya mengajar ilmu syariat berbentuk halaqah di surau.

Syeikh Abdul Munaf Bakrin gelar Tuanku Mudo-Malin Sutan, terlahir di Taeh Koto Pulai, Barung-Barung Belantai Koto XI Tarusan ± 44 km dari Padang pada bulan Agustus 1901 M. dan wafat pada 31 Maret 1984 M.

Syeikh Abdul Munaf Bakrin adalah anak dari pasangan H. Abu Bakar dan ibu Siti Subuh Chaniago. Siti Subuh adalah seorang ibu yang taat dan lemah lembut serta pandai pencak silat.

Sejak Kecil Munaf Bakrin diasuh oleh kedua orang tuanya, kemudian belajar Sekolah Desa 3 tahun. Untuk menguasai ilmu-ilmu agama, Munaf belajar Al-Qur’an di Taram, kec. Harau 50 Kota. Kemudian berpindah-pindah guru agama. Di antaranya adalah Buya Taram, Buya Ibrahim, Tiakar Payakumbuh, Buya Ruslan di Limbukan, Buya Sulaiman ar-Rasuli (Buya Candung) Bukittinggi, Buya Jamil Jaho (Buya Jaho) Padang Panjang, dan belajar thariqat Naqsyabandiyah dengan Buya Syeikh M. Thaib Pasar Baru Pauh Padang hingga berhasil mendapat Ijazah Khalifah. 

Setelah ilmunya cukup, Munaf Bakrin kemudian mengajar mengaji dan berdakwah dari surau ke surau dan nagari di daerah Banda Sapuluh. Munaf Bakrin mengembangkan ajaran Thariqat Naqsyabandiyah dan ajaran Sunniah Syafi’iyah. Munaf Bakrin kemudian diangkat sebagai Tuanku Muda oleh Syeikh Maulana HM. Thaib, Angku Surau Baru sekaligus khalifah Mursyid Thariqat Naqsyabandi 1932 daerah Banda Sapuluh di Surau Lubuk Panjang Barung-Barung Belantai Koto XI Tarusan.

Dari pengalaman berdakwah inilah, Munaf Bakrin tumbuh menjadi seorang ulama yang telah aktif memimpin masyarakat, termasuk dalam perjuangan politik. Seperti terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda tahun 1926. Saat itu, Munaf Bakrin bahkan sempat ditangkap Belanda dan ditahan di Tangsi Muaro. Namun kemudian lepas dari tahanan dan merantau lagi untuk menambah ilmu dan pengalaman ke kepulauan Malaya dan Singapura.

Pada zaman Jepang, jiwa patriotisme Munaf Bakrin tampil kembali. Karena di segani oleh Jepang banyak pemuda-pemuda yang dibuang ke Digul dapat diselamatkan dengan menjadikan mereka pelajar di Surau Lubuk dan Jepang dapat membenarkannya.

Pada masa Revolusi Kemerdekaan mendirikan Lasymi (Lasykar Muslim Indonesia) di Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK) langsung Komandan Intendannya.

Masa Kemerdekaan

Sebagai ulama Syafi’iyah-Sunniyah, Munaf Bakrin bersama ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang sepaham mendirikan cabang Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang didirikan oleh Buya Candung di kabupaten PSK. Pada waktu Perti berobah menjadi Partai Islam Perti, maka kabupaten PSK langsung menyesuaikan diri dan berdirilah Partai Islam Perti dengan Munaf Bakrin Buya langsung sebagai Ketua Dewan Thariqatnya.

Pada tahun 1950 Munaf Bakrin diangkat sebagal Hakim pada Makmar Syariah Painan. Dalam masa PRRI tetap setia pada Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjabat jabatan sebagai Penasihat Bupati Pesisir Selatan.

Tahun 1960-1970 Munaf Bakrin dipercayakan memegang jabatan Ketua Pimpinan Cabang Perti sekaligus Pimpinan PPTI kabupaten Pesisir Selatan. Setelah Dekrit Buya Candung, Perti menjadi Persatuan Tarbiyah lslamiyah, tahun 1969 langsung menjadi Ketua DPD Persatuan Tarbiyah Islamiyah kabupaten Pesisir Selatan. Tahun 1977-1982 menjadi angggota DPRD Kabupaten Pesisir Selatan dari Golkar.

Mengembangkan Thariqah Naqsyabandiyah

Setelah diangkat dan diresmikan sebagai Khalifah Mursyid oleh Buya Syeikh M. Thaib-Angku Pasar Biduk di Surau Lubuk Panjang, mengajarkan Thariqat Naqsyabandi dengan mendirikan Suluk, sekaligus menghadapi tantangan penganut Khurafah Tahyul dan ilmu Sihir serta rasa disaingi dari pengamal Thariqat yang telah lebih dulu berkembang.

Selanjutnya berdatanglah murid-murid yang ingin belajar Thariqat Naqsyabandiyah dan melaksanakan suluk dari daerah-daerah Banda Sapuluh, kota Padang. Munaf Bakrin kemudian mengembangkan pengajian Thariqat Naqsyabandi ke Siguntur Muda. Pengajian Munaf bakrin kemudian menjalar hingga ke Lubuk Niur, Indrapura, Lubuk Pinang Muko-Muko Kabupaten Bengkulu Utara, Teluk Kabung, Batu Sangkar dan Padang.

Untuk menyebarkan ilmunya, Syeikh Abdul Munaf Bakrin mengangkat para khalifah di daerahnya masing-masing dan mendirikan surau tempat wirid Tawajuh. Syeikh Abdul Munaf Bakrin mendatangi dan membimbing mereka secara bergilir di tempat-tempat didirikan Halqah Khatwat (Suluk). kegiatan ini dilaksanakan sepanjang hidup.

Syeikh Abdul Munaf Bakrin sangat berjasa dalam penyatuan pengajian Syariat dengan Thariqat. Syeikh Abdul Munaf Bakrin mengantar kader-kader ke sekolah agama (Madrasah Tarbiyah) di daerah Payakumbuh dan Bukitinggi. Namun Syeikh Abdul Munaf Bakrin juga mendirikan Madrasah/Pesantren dengan mewakafkan tanah pusaka tinggi untuk perumahan pesantren di Taeh.

Syeikh Abdul Munaf Bakrin mendukung secara utuh dan sungguh-sungguh pendidikan Al-Qur’an yang mewajibkan pelajaran terjemah Al-Qur’an yang dipimpin Ibnu Abbas (anak) dengan pendidikan Nurul Yaqien. Syeikh Abdul Munaf Bakrin menjadikan Nurul Yaqien sebagai nama bagi seluruh surau dan mesjid dibawah naungannya, baik yang berada di Pesisir Selatan maupun yang berada di luar Pesisir Selatan dengan harapan agar pendidikan Al-Qur’an dan terjemahannya diajarkan oleh para khalifah untuk para jamaah di daerah masing-masing.

Syeikh Abdul Munaf Bakrin juga menugaskan kepada para khalifah, jamaah dan ahli waris untuk memperbaiki dan membangun baru Surau Lubuk yang telah dimakan usia. Serta mengamanatkan kepada seluruh khalifah dan jamaah untuk selalu bekerjasama dengan pemerintah di semua tingkat dan tokoh agama, tokoh adat serta tokoh masyarakat selama tidak menghalangi pelaksanaan ajaran Thariqat Naqsyabandiyah dan ikut berperan serta dalam pembangunan dan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dengan lembut, santun tapi tegas.

Suasana Menjelang dan Saat Wafat

Sekitar tiga puluh hari mendekati hari wafat, Buya tidak mau makan dan minum dan tak boleh dibangunkan karena sedang sakit dan zikir. Hanya bangun di awal setiap waktu shalat untuk bersuci dan berwudhu, langsung shalat dalam berbaring menghadap kiblat.

Saat menjelang wafat selalu terdengar ucapan Allah, Allah, akhirnya Buya berangkat Kehadirat Allah dengan ucapan la ilaha illallah dengan wajah yang tenang berseri. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Sumber: NU Online

Sumatera Barat Ranah Minang yang terkenal dengan Adat bersandi Syarak, Syarak bersandi Kitabullah yang dipimpin oleh Tigo Tungku Sajarangan, Ulama, Penghulu dan Cadik Pandai. Para ulama di ranah Minang, sebagai panutan umat biasanya mempunyai keahlian dalam ilmu Syariat, ilmu Thariqat dan seringkali pula melengkapi diri dengan ilmu Pencak Silat. Kisah yang akan kita ikuti kali ini adalah salah satu contoh peran ulama di ranah Minang, dalam membina umat di tengah berbagai goncangan zaman.