Profil Singkat Uwais al-Qarni (Imam Thariqah Uwaisiyah)

Beliau adalah Abu 'Amir Uwais bin 'Amir Al-Muradi Tsumma Al-Qarn (wafat 36 H.). Menurut pendapat yang paling shahih, beliau adalah pembesar ta'bi'in (Syaikh Ismail Haqqi bin Mushthafa al-Khlawati al-Barsawi, Tamaam al-Faidh fii Baabi al-Rijaal. Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2010. halaman: 18), bahkan termasuk pembesar Ta'biin dan orang yang paling utama pada masanya. Kedudukan Uwais Al-Qarni RA. disaksikan sendiri oleh Rasulullah SAW., beliau bersabda:

قال النبيّ صلى الله عليه و سلم انّي لاجد نفس الرحمن من قبل اليمن

" Sesungguhnya aku (Rasulullah SAW) mencium nafas Tuhan Yang Maha Rahman dari arah tanah Yaman".

Yang dimaksud Nabi SAW adalah mencium bau harum kekasih Allah SWT yaitu Uwais Al-Qarni.

و يكفي شرفا و فخرا لمشرّف هذا المكان ما ورد في الخبر عن نبيّنا صلّى الله عليه وسلّم خليلي من هذه الأمة أويس القرن عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنهما أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال خير التابعين رجل يقال له أويس يأتِي عليكم في أمداد اليمن لو أقسم على الله الأبّره فان استطعت ان يستغفر لك فافعل

Rasulullah SAW menuturkan keistimewaan Uwais yang telah dikabarkan oleh Allah SWt kepada Umar dan Ali bahwa: "Ada seseorang dari umatku yang bisa memberikan syafa'at di hari kiamat sebanyak bulu domba dari jumlah domba yang dimiliki oleh Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena memiliki domba yang banyak), lalu para sahabat bertanya: "Siapa dia wahai Rasulullah SAW?". Rasul SAW menjawab:"Ia adalah hamba Allah SWT". Siapa namanya ya Rasul? Rasul SAW menjawab:"ia bernama Uwais Al-Qarni RA.".

Rasul SAW. bersabda:”Yang mencegah (Uwais Al-Qarni) menemuiku adalah dua hal, pertama karena keadaan, kedua karena dia menghormati aturan. Sebab dia mengasuh ibunya yang sudah tua, buta matanya, lumpuh kedua tangan dan kakinya. Uwais bekerja sebagai penggembala unta di siang hari dengan upah yang cukup untuk dibelanjakan bagi ibunya, dirinya, dan dishadaqahkan kepada tetangganya yang miskin.

Para sahabat bertanya apakah kita bisa melihatnya atau tidak? Rasul SAW. bersabda: Abu Bakar as-Shiddiq RA. tidak bisa menemukannya, yang bisa menemukan dia adalah Umar dan Ali. Dia memiliki ciri-ciri rambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya, tanda putih itu bukan penyakit belang (barash). Jika kalian menemukan dia, sampaikan salamku padanya, lalu mintakan doanya untuk umatku”, (Muslim, Shahih Muslim Hadits, Libanon: Dar al-Fikr, nomor: 2542 jilid 4, juz 7, halaman: 188 & Farid al-Din al-Attor, Tadzkirat al-Auliyȃ’, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010, halaman: 49).

Setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar al-Shiddiq RA wafat, Umar diangkat menjadi Khalifah. Di sela-sela kesibukan Umar sebagai Khalifah, beliau teringat sabda Rasul tentang Uwais al-Qarni. Lalu Umar mengajak Ali bin Abi Thalib untuk mencarinya di kota Najt (Yaman). Umar mengumpulkan penduduk Najt dan bertanya: Apakah di antara kalian ada seseorang dari suku Qarn? Penduduk Najt menjawab:”Ya”. Kemudian salah satu penduduk Qarn mendekati Umar, lalu Umar mengabarkan tentang Uwais dan para penduduk tidak mengenalnya. Dengan nada tinggi Umar berkata: “Nabi Muhammad SAW pemilik syariat ini tidak berkata sembarangan”. Sebagian penduduk berkata: wahai pemimpin orang mukmin, Uwais adalah orang yang tidak pantas engkau cari, karena dia adalah orang gila lagi gelandangan. Umar berkata: “Aku mendatangi kalian hanya untuknya, di mana dia?”. Para penduduk Najt menjawab: “Dia ada di lembah Uranah sedang mengembala unta sampai waktu sore hari, kemudian kami memberinya makan sore, dia tidak bergaul dalam keramaian penduduk, tidak berteman dengan siapapun, tidak memakan makanan orang pada umumnya, tidak bergembiraseperti suka cita orang pada biasanya, justru dia menangis tatkala semua tertawa, dan dia tertawa tatkala banyak orang-orang menangis”. Umar berkata: “Bawalah aku menemui dia”. Lalu para penduduk mengantar Umar dan Ali menuju tempat Uwais. Saat itu Uwais sedang shalat. Ketika Uwais merasakan kedatangan Umar dan Ali, dia mempercepat shalatnya. Lalu ketika Umar melihat Uwais selesai shalat, Umar langsung mengucapkan salam kepada Uwais. Lalu Uwais menjawab salam Umar dan Ali. Umar bertanya: “Siapa namamu?” Uwais menjawab: “Abdullah (hamba Allah SWT)”, Umar berkata, “kita juga hamba-hamba Allah SWT., siapa nama yang dikhususkan untukmu?”. Uwais menjawab: “Uwais”. Kemudian Umar berkata: “Tunjukkan tangan kananmu kepadaku”.

Pada saat itu terlihat tanda putih di telapak tangan Uwais seperti yang disebutkan oleh nabi Muhammad SAW. Umar berkata: “Nabi kirim salam kepadamu dan berwasiat kepadamu untuk mendoakan aku”. Uwais berkata: “Engkau lebih utama mendoakan seluruh orang-orang muslim karena Engkau adalah orang yang paling utama di muka bumi ini”. Umar berkata: “Aku juga mendoakan orang mukmin, tetapi seyogyanya Engkau mengikuti wasiat Nabi untuk berdoa”. Uwais keberatan untuk diminta mendoakan, sehingga Uwais berkata: “Wahai Umar, mintalah doa kepada seseorang selain aku”.

Umar membujuk Uwais untuk mau berdoa , lalu Umar berkata: “Rasul telah menunjukkan tanda-tandamu kepada kami, dan semua tanda itu ada padamu”. Uwais berkata: “Ambillah wasiat Nabi itu dariku”, lalu sahabat Umar dan Ali kembali ke Madinah. Setelah Umar dan Ali pergi, Uwais bersujud di tanah dan berdoa: “Wahai Tuhanku, kekasih-Mu nabi Muhammad SAW telah memindahkan keadaan ini kepadaku, kekasih-Mu berwasiat kepadaku untuk berdoa. Wahai Tuhanku, ampunilah seluruh umat nabi Muhammad SAW.” (Farid al-Din al-Attor, Tadzkirat al-Auliyȃ’, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010. Halaman: 49-50).

Setelah pertemuan antara Uwais dengan Umar dan Ali, lalu tersiar kabar bahwa Uwais memiliki derajat yang tinggi, sehingga penduduk Yaman selalu mencari dan mendatanginya. Dengan keadaan tersebut, Uwais merasa terganggu untuk bermunajat kepada Allah SWT., sehingga ia meninggalkan Yaman agar tidak diketahui keberadaannya oleh penduduk. Setelah itu, tidak ada yang melihat Uwais di manapun, kecuali Harim bin Hayyan, dia berkata: “Aku mendengar bahwa Uwais bisa diterima syafaatnya pada hari qiamat, sehingga aku melakukan perjalanan untuk mencarinya, lama aku mencarinya sehingga hatiku terbuai kerinduan untuk bertemu dengan Uwais. Seluruh desa dan kota telah aku lalui, sehingga aku sampai di kota Kufah. Pencarianku terhenti pada seorang laki-laki yang memiliki ciri-ciri yang persis seperti yang diceritakan Nabi, Umar, dan Ali. Laki-laki itu sedang berwudlu di pinggir sungai Furadh. Hatiku senang sekali dan berucap salam padanya, kemudian dia menjawab dan melihat ke arahku, kemudian aku ingin mencium tangannya, tapi dia menolak. Aku berkata: “Semoga Allah SWT mengasihimu dan mengampunimu wahai Uwais, bagaimana kabarmu?”. Setelah aku bertanya seperti itu aku tidak kuasa membendung tangisku karena merasa kasihan terhadap keadaan Uwais yang lemah dan Uwais juga menangis. Usai menangis Uwais berkata: “Wahai Harim bin Hayyan, siapa yng menunjukkanmu kepadaku?”. Aku tidak menjawab pertanyaan itu lalu aku balik bertanya: “Bagaimana Anda tahu namaku dan bapakku?”. Uwais menjawab: “Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Waspada yang menceritakan kepadaku, ruhku telah mengenali ruhmu, karena antara ruh orang-orang mukmin saling mengenal”. Harim berkata kepada Uwais: “Ceritakanlah kepadaku tentang haditsnya Rasul”. Uwais menjawab: “Aku tidak pernah bertemu dengan Nabi tetapi aku mendengar hadits Nabi yang diriwayatkan dari sahabatnya, aku tidak menyukai membuka pintu fatwa dan pengingat karena aku telah disibukkan selain hal itu”. Lalu aku berkata: “Aku suka mendengar ayat al-Quran darimu”. Kemudian Uwais memegang tanganku sambil mengucapkan ta’awudz, Uwais menangis tersedu-sedu, kemudian membaca ayat al-Quran:

وَ مَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ (الذاريات : 56)

وَ مَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ وَ مَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِيْنَ (38) مَا خَلَقْنَاهُمَا اِلَّا بِالْحَقِّ وَ لكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ (39) اِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ مِيْقَاتُهُمْ أَجْمَعِيْنَ (40) يَوْمَ لَا يُغْنِيْ مَوْلًى عَنْ مَوْلًى شَيْئًا وَ لَا هُمْ يُنْصَرُوْنَ (41) اِلَّا مَنْ رَحِمَ اللهُ اِنَّهُ هُوَ الْعَزِيْزُ الرَّحِيْمُ (42) (الدخان)

Kemudian Uwais menjerit dengan keras, bahkan aku tidak mengetahui apakah akalnya masih ada atau tidak. Selang beberapa saat, Uwais berkata: “Wahai Harim bin Hayyan, kenapa engkau mendatangiku?”. Aku menjawab: “Tujunmu mencariku untuk merasa tenang dan nyaman bersamamu”. Uwais mengomentari jawabanku: “Aku tidak mengerti, bahwasannya orang yang mengenal Allah SWT., bagaimana ia bisa merasa tenang dan nyaman bersama selain-Nya?”.

Aku berkata: “Berilah aku wasiat”. Uwais berkata: “Jadikan kematian di bawah kepalamu (ingat pada kematian) dan di dalam kepalamu dan setelah itu tidak ada pengaruh kehidupan setelah kematian (tidak ingat pada kehidupan dunia dan yang diingat hanya Allah SWT semata), jangan engkau memandang dosa kecil, tapi pandanglah pada besarnya maksiat kepada Allah SWT, karena jika engkau meremehkan dosa maka engkau telah meremehkan berpaling dari Allah SWT”. Aku berkata: “Apa yang engkau perintahkan kepadaku? Di tempat mana aku bermukim?”. Uwais berkata: “Bertempatlah di Syam”. Aku berkata: “Bagaimana aku mendapatkan penghidupan di kota Syam (Syiria)?”. Uwais berkata: “Jauhkan perasaan itu dari hatimu, karena keragu-raguan telah mencemari hatimu, sehingga nasihat tidak bermanfaat”. Aku berkata lagi: “Berilah aku wasiat”.

Uwais berkata: “Bapakmu Hayyan telah mati. Nabi Adam, Hawa, Nuh, Ibrahim, Musa, Nabi Muhammad SAW., dan seluruh Nabi dan Rasul telah meninggal semua. Abu Bakar, Umar bin al-Khattab telah meninggal”. Aku bertanya kepada Uwais: “Apakah Umar bin al-Khattab telah meninggal?”. Uwais menjawab: “Ya. Allah SWT telah memberikan kabar kepadaku melalui ilham tentang kematian Umar bin al-Khattab”. Kemudinan Uwais melanjutkan, “Wahai Harim, aku dan engkau termasuk golongan orang-orang yang mati”. Kemudian Uwais membaca shalawat kepada Nabi, berdoa dengan doa yang pelan. Lalu Uwais berkata: “Wasiatku kepadamu, bersuluklah degan jalan sesuai syariat dan thariqah orang-orang yang baik. Jangan engkau melupakan dzikir kepada Allah SWT walaupun sekejap, jika engkau sudah sampai kepada kaummu berilah nasihat kepada mereka, jangan engkau memutus nasihat (mengharapkan kebaikan) dari hamba Allah SWT., jangan engkau menyimpang dari taat kepada pemimpin umat sehingga imanmu tidak keluar tanpa kamu sadari, engkau tidak mengetahui apakah engkau akan jatuh ke neraka atau tidak”. Kemudian Uwais berkata: “Wahai Harim, engkau dan aku tidak akan pernah bertemu sejak saat ini, jangan lupakan aku dalam doa, berangkatlah ketika aku berangkat, jangan engkau tinggalkan aku sedetikpun sebelum kepergianmu”. Lalu aku dan Uwais menangis, kemudian Uwais pergi sementara aku memandanginya dari belakang sampai Uwais naik ke gunung. Setelah peristiwa itu aku tidak melihat dan mengetahui keadaannya, (al-Din al-Attar, Tadzkirat al-Auliyȃ’. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010. Halaman 51-52).

(Disadur dari kitab Sabilus Saalikiin lisy-syaikh Muhammad Sholih Bahruddin -athaalallaahu 'umrahuu fii sihhatin wa 'aafiyah)

Beliau adalah Abu 'Amir Uwais bin 'Amir Al-Muradi Tsumma Al-Qarn (wafat 36 H.). Menurut pendapat yang paling shahih, beliau adalah pembesar ta'bi'in (Syaikh Ismail Haqqi bin Mushthafa al-Khlawati al-Barsawi, Tamaam al-Faidh fii Baabi al-Rijaal.