Menyikapi Wali yang “Sekilas” Tidak Jum'atan

Fatwa dua Mufti yang mulia, yakni Syekh Ammar bin Sa’duddin dan Syekh Salim Alwan sebagaimana di sebutkan dalam artikel www.nugarislurus.com memang benar, dan sesuai hukum syari’at (fikih), yakni bahwa orang yang tidak meninggalkan sholat Jum’at tidak bisa dianggap sebagai wali, sebab syarat seorang wali harus bertakwa, yakni melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Akan tetapi, dalam mem’vonis’ seseorang meninggalkan kewajiban syara’ atau menerjang larangan syara’ haruslah didasari bukti-bukti nyata, yang mengantarkan kita yakin akan kemaksiatannya. Jika tidak, maka yang kita lakukan bukanlah amar ma’ruf, namun su’udz dzan (berburuk sangka) dan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), yang justru hal itu menjadi boomerang bagi kita, yakni justru kita yang bermaksiat dan harus dinahi munkari. Imam Al-Ghazali berkata dalam kitab Ihya’ulumiddin, Juz II, hlm. 325, terbitan Darul Ma’rifat Bairut :

الشرط الثالث أن يكون المنكر ظاهرا للمحتسب بغير تجسس، فكل من ستر معصية في داره وأغلق بابه لا يجوز أن يتجسس عليه وقد نهى الله تعالى عنه

“Syarat yang ketiga (dari syarat-syarat kemunkaran yang wajib dinahi munkari) ialah, kemunkaran diketahui secara jelas oleh orang yang bernahi munkar tanpa dicari-cari. Maka, setiap orang yang menyembunyikan kemaksiatan di rumahnya, dan menutup rumahnya, tidak boleh dicari-cari kemaksiatannya, dan sungguh Allah melarang hal itu”.

Untuk men’vonis’ seseorang tidak melaksanakan sholat Jum’at, kita harus betul-betul mengetahui keberadaan orang tersebut ketika sholat didirikan. Apakah dia terus berada di rumahnya, tanpa pergi ke mana-mana sampai semua Jum’atan yang didirikan selesai dan ia tidak mengikutinya ? Atau kita membuntuti kepergiannya, sehingga kita dapat memastikan ia tidak sholat Jum’at ?!

Sebagaimana telah kita fahami pula, bahwa dalam sholat Jum’at banyak sekali ‘udzur atau rukhshah (dispensasi) yang memperbolehkan seseorang meninggalkan sholat Jum’at, seperti sakit, merawat orang sakit, bepergian (dengan syarat keluar dari batas desa sebelum fajar), hujan, bencana angin, kebakaran dan banjir, serta masih banyak lagi.

Dengan berbagai pertimbangan di atas, kecil kemungkinan kita bisa meng’vonis’ seseorang betul-betul meninggalkan sholat Jum’at, tanpa ada udzur, sebab kita tidak tahu persis kondisi setiap orang. Lebih-lebih kita diwajibkan untuk berhusnudz dzan (berbaik sangka) pada sesama muslim. Disebutkan dalam kitab Al-Minan Al-Kubra, karya imam As-Sya’roni, hlm. 225, terbitan Darul Kutub ‘lmiyyah :

ومما من الله تبارك وتعالى به علي : عدم مبادرتي إلى سوء الظن بأحد من المسلمين وكثرتي سترتي لما تحققته من عوراتهم -إلى أن قال- ولا يؤاخذ الله تعالى في الآخرة عبدا أحسن الظن بعباده المؤمنين أبدا . إنما يؤاخذ أساء بهم الظن اهـ

“Diantara nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadaku ialah, aku tidak tergesa-gesa untuk berburuk sangka pada salah seorang dari kaum muslimin, dan aku banyak menutupi aib-aib mereka yang aku benar-benar aku ketahui. Allah tidak akan menyiksa di akhirat, pada seorang hamba yang berbaik sangka pada hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah hanya akan menyiksa orang yang berburuk sangka pada mereka.”

Dalam kitab yang sama, hlm. 226 disebutkan :

وقد كان سيدي أفضل الدين رحمه الله تعالى يقول : إذا رأيت إنسانا بالغا يطوف يشيء يبيعه والناس يصلون الجمعة فاحمله على عذر شرعي، فإذا رأيت عالما أو صالحا يأخذ من الظلمة مالا فاحمله على أنه يفرقه على أصحاب الضرورات بالطريق الشرعي ولا يأكل من شيئا

“Dan sungguh tuanku Afdlaluddin –semoga beliau dirahmati Allah- berkata : Jika kamu melihat seseorang yang baligh berkeliling dengan barang yang ia dagangkan, sementara orang-orang sedang sholat Jum’at, maka anggaplah ia memiliki udzur syar’i. Jika kamu melihat orang alim atau sholeh mengambil harta dari orang-orang dholim, maka anggaplah bahwa ia membagikannya pada orang-orang yang sangat membutuhkan harta, sesuai ketentuan syara’, dan dia sendiri tidak ikut memakannya sedikit pun”

Akan lebih berbahaya jika su’udz dzan dan tajassus tersebut kita lakukan pada seseorang yang masyhur akan kewaliannya, keberkahannya dan mustajab do’anya untuk umat. Dikhawatirkan kita akan terkena ‘kuwalat’ wali. Disebutkan dalam kitab yang sama, pada hlm. 527 :

وقد أنكر بعض الناس على فقير رآه في بيت المزر جالسا، فحصل للمنكر قولنج فما كان إذ مرض، فجاؤوا إليه يطيبون خاطره، فقال : قولوا له يستغفر الله تعالى وهو يطيب. فاستغفر فعوفي من وقته، فقال الفقير : إنه لا يلزم من جلوسي في بيت المزر إني أشرب المزر ويكون جلوسي لأستغفر الله تعالى لكل من يشرب من ذلك فلعل الله يتوب عليه

“Dan sungguh ada sebagian orang ingkar pada seorang wali yang dilihatnya duduk di rumah minuman keras, lalu orang yang ingkar itu mengalami sakit perut (yang menyebabkan sulit berak dan kentut), ia pun merasa sakit. Kemudian orang-orang datang kepada wali tadi untuk memintakan ma’af, lalu sang wali pun berkata : Katakan kepadanya untuk meminta ampun kepada Allah, dan ia baik hatinya. Kamudian orang itu meminta ampun, lantas ia sembuh pada waktu itu juga. Sang wali lalu berkata : Sesungguhnya duduknya aku di rumah muniman keras itu tidak pasti untuk meminum minuman keras. Aku duduk di sana untuk memintakan ampun setiap orang yang minum di sana, semoga Allah menerima taubat mereka”.

Wal hasil, janganlah mudah menuduh seseorang melakukan maksiat dan tergesa-gesa ingkar kepadanya, lebih-lebih orang tersebut masyhur sebagai wali yang berkahnya selalu dinanti para umat. Kita berhusnudz dzan kepada sesama muslim, meskipun ia orang awam saja wajib, apalagi berhusnudz dzan pada para wali Allah.

Namun, memang hanya orang yang bersih hatinya saja yang mampu berhusnudz dzan, sebab seseorang akan menganggap atau mengukur orang lain sesuai dengan keadaan dirinya. Jika seseorang mempunyai hati busuk, pasti semua prasangkanya cenderung akan busuk juga, sebagaimana disebutkan dalam sebuah sya’ir :

إِذَا سَاءَ فِعْلُ الْمَرْءِ سَاءَتْ ظُنُوْنُهُ # وَصَدَّقَ مَـا يَعْتَــادُهُ مِنْ تَوَهُّــمِ

Jika kelakuan seseorang jelek, maka jelek pula dugaan-dugaannya, # dan ia membenarkan dugaan yang dibiasakannya.

Untuk mampu berhusnudz dzan pada orang lain, terlebih dahulu harus kita bersihkan hati kita dari kejelekan dan kotoran-kotoran hati. Jika hal ini tidak kita lakukan, mustahil kita dapat mampu berhusnudz dzan, sebagaimana disebutkan dalam kitab yang sama, pada hlm. 225 :

وسيأتي في هذه المنن أن العبد لا يصح له حسن الظن بالمسلمين إلا بعد تنظيف باطنه من الرذائل حتى لا يكون له سريرة سيئة قط يفتضح بها في الدنيا ولآخرة وما دام له سريرة سيئة فمن لازمه سوء الظن قياسا على نفسه وصفاته، فإن أردت يا أخي أن تكون ممن يحسن الظن بالمسلمين فطهر باطنك أولا من الرذائل وإلا فلا سبيل لك إلى الخلاص

“Dan akan dijelaskan nanti dalam kitab ini, bahwa seorang hamba tidak akan mampu berhusnudz dzan kecuali setelah ia membersihkan hatinya dari kejelekan-kejelekan, sehingga tidak ada satu pun kejelekan yang ia miliki yang akan membuatnya malu (jika diketahui orang lain) di dunia dan akhirat. Dan selama ia masih memiliki kejelekan hati, maka sebagai keniscayaannya ia berburuk sangka pada orang lain, karena ia samakan orang lain dengan dirinya dan sifat-sifat pribadinya. Maka, jika kamu ingin –wahai temanku- termasuk orang yang berhusnudz dzan pada kaum muslimin, maka bersihkanlah hatimu terlebih dahulu dari kejelekan-kejelekan. Jika tidak, maka kamu tidak akan bisa lepas dari berburuk sangka !”

Teman-temanku yang dirahmati Allah, semoga kita dapat membersihkan hati kita dari berbagai kotoran hati dan termasuk orang-orang yang dapat berhusnudz dzan pada sesama muslim. Hanya dengan bimbingan seorang Mursyid Thariqah yang Mu’tabarah, kita dapat membersihkan hati kita, kemudian menghiasinya dengan akhlak mulia. Sebagaimana kisah pengarang kitab Al-Minan Al-Kubra di atas, yakni imam As-Sya’roni, bahwa beliau di awal mula ingin menempuh suluk dengan cara beliau sendiri, dan dengan ilmu beliau sendiri, namun setiap langkah beliau selalu gagal. Baru ketika beliau berguru pada Syaikh ‘Ali Al-Khawwas dan mengambil ijazah Thariqah darinya, imam As-Sya’roni mulai merasakan tebukakan pintu hati. Padahal secara dhahir, Syaikh ‘Ali Al-Khawwas hanya seorang pengrajin anyaman pelepah atau daun kurma, dan beliau tidak bisa baca tulis (ummi), dan imam As-Sya’roni adalah imam besar yang menguasai fikih 4 madzhab, dan berbagai disiplin ilmu. (Saef)

Mari masuk Thariqah Mu’tabarah !!!

Allahummanfa’na bibarkatihim.. . wahdinal husna bihurmatihim.. . Amin.

Dalam mem’vonis’ seseorang meninggalkan kewajiban syara’ atau menerjang larangan syara’ haruslah didasari bukti-bukti nyata, yang mengantarkan kita yakin akan kemaksiatannya