Sastra dan Para Raksasa

    
... // Akan kuletakkan sintalmu/pada tubir meja: / telanjang /
yang meminta // kekar kemaluan purba, / dan zat hutan /yang jauh,
dengan surya / yang datang sederhana. //... [Pada Album Miguel de
Cuvarobias; Misalkan Kita di Sarejevo, 1998, Goenawan Mohamad]

SASTRA dan sastrawan terus-menerus dilahirkan dan disambut euforia yang tak selalu sama. Sastra atau shastra, dari bahasa Sansekerta, yang berakar dari sas atau ajaran, tak jarang terperosok ke lembah yang senyap dan tidak terjangkau oleh dalil, tidak pula oleh dalih. Meski diidentikkan pula dengan kesunyian, sastra toh tidak lolos dari hiruk-pikuk. Sastra yang seharusnya bertahta selayaknya ajaran, misalnya, bisa justru distempel dengan stigma buruk gara-gara perilaku segelintir orang—yang menggeluti dunia sastra. Apalagi, persepsi publik sering sesuka hati menjatuhkan martabat definisi sastra dan merasa tak perlu ikut susah payah mengembalikannya kepada kedudukan yang sesuai khittah.
Sastrawan kehilangan kata, pun sastra kehilangan makna, ketika masyarakat semakin jauh mengambil jarak. Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, sebagaimana kata Seno Gumira Ajidarma, tidak lagi mudah dipraktikkan. Jurnalisme hari ini tak dibungkam tapi malah
seolah bebas mengobral obrolan tak bermutu. Lalu, di manakah sastra harus didudukkan? Di satu sisi, jurnalisme telah kawin-mawin dengan sastra dan melahirkan apa yang kemudian disebut jurnalisme sastrawi. Di sisi lain, sastra tidak mewajibkan atas dirinya untuk memenuhi kaidah jurnalistik dalam penulisan, apalagi yang sejak awal memang dimaksudkan sebagai karya fiksi. Pada keadaan yang bagaimana sastra harus berbicara secara semestinya?
Ahmad Tohari, penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2015 pada Bidang Kesusastraan, mengungkapkan sejumlah keprihatinan. Pertama, kurangnya perhatian pemerintah dan negara terhadap dunia sastra. Kedua, rendahnya tingkat baca masyarakat Indonesia terhadap karya sastra—masih sekitar tujuh persen. Ketiga, pertumbuhan manusia Indonesia yang cerdas dan  terampil tidak disertai kepekaan terhadap keadaan di sekitarnya. Tapi, apakah sastrawan memang bebas nilai dan tidak ikut bersalah dalam ketiga hal yang disampaikan penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk itu? Jika sastrawan hanya berkutat dengan mesin ketik, kertas, dan panggung, benarkah sastra telah dimasyarakatkan dengan sungguh-sungguh?
Bahasa yang diyakini menunjukkan bangsa kini semakin sulit dimengerti kebenarannya jika, misalnya, Ahok (Basuki Thahaja Purnama)—Gubernur DKI Jakarta, seakan dibiarkan begitu saja mengumbar kata-kata kasar pada siapa pun yang ia maki. Ketegasan sikap menjadi semacam pembenaran untuk tidak selalu berbanding lurus dengan kelembutan ucap. Siapa yang keliru? Apakah Ahok dengan segala umpatannya itu, lembaga penyelenggara negara yang tidak memberikan pendidikan kepribadian (khususnya pendidikan berbahasa Indonesia yang baik dan benar) kepada pejabat publik, para sastrawan yang tidak membumi dan diam saja terhadap persoalan ini, atau kita yang justru membalas olok-olok dengan olok-olok pula?
Musibah terbesar bahasa adalah ketika ia gagal menunjukkan kebangsaan dan justru mempertontonkan kebangsatan. Dan, bahasa sesungguhnya bukan hanya himpunan kata dengan makna tertentu. Lebih dari itu, makna juga dihadirkan oleh bahasa tanpa kata, salah satunya dalam wujud bahasa tubuh (gesture). Jika sastrawan diposisikan sebagai pilar utama—bahkan sokoguru—bangsa, maka mestinya ia sanggup menguasai tubuh dan mengolah bahasa tubuh bangsanya, yaitu dengan terlibat aktif dalam kedudukan itu demi meningkatkan kualitas kesusastraan masyarakat, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas kebangsaan rakyat. Sastra tidak terlepas dan tidak semestinya melepaskan diri dari lingkungannya, bukan?
Dalam gegap-gempita media sosial, sastra cenderung dipahami oleh sebagian orang sebagai rangkaian kata indah, yang lebih indah jika tentang cinta dan menimbulkan rindu. Tak bisa dimungkiri, sensualitas dan seksualitas termasuk di dalamnya, toh romantisme memang sejak lama menjadi bumbu karya sastra. Goenawan Mohamad mengatakan, seks adalah suatu risiko dalam kesusastraan Indonesia modern. "Kita tak bisa secara mudah menilai suatu kesusastraan yang tanpa seks sebagai kurang atau sebagai lebih, sebab yang menentukan di sini ialah sikap para pengarang terhadap masalah itu. Dan sikap adalah juga suatu peristiwa sosial. Seks atau tanpa seks bisa merupakan sekadar pose di hadapan publik," ungkap Goenawan Mohamad.
Dalam Seks, Sastra, Kita (Sinar Harapan, 1980), jauh-jauh hari sebelum linimasa Twitter membatasi tulisan menjadi sebatas 140 karakter, wartawan dan penyair yang menerima Penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Paramadharma 2015 ini telah mengingatkan bahwa godaan terbesar penulis modern ialah perhatian publik yang berlebih. "Tetapi kita harus lebih dulu merasa tenteram dengan khalayak kita, untuk berbicara tanpa kekhawatiran, tanpa tuntutan, juga di saat kita berbicara menyinggung hal-hal penting seperti seks," tulis Goenawan Mohamad. Pada akhirnya, lanjut dia, kesusastraan yang dewasa akan lahir, ketika pengarang tidak menganggap khalayak sebagai majelis penguji atau jemaah pemuja.
***

    ... / Rahasia membutuhkan kata yang terucap di puncak sepi/ ..
[Nada Awal, Subagio Sastrowardoyo]

SYAIR dan penyair adalah bagian tak terpisahkan dari sastra dan sastrawan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syair diartikan sebagai puisi yang setiap bait terdiri atas empat baris dengan akhiran sama suara atau rima. Penyair ditahbiskan sebagai pencipta syair itu sendiri. Menurut peran dan tugasnya, syair terbagi lima kategori. Kesatu, Syair Panji untuk tema kepahlawanan. Kedua, Syair Romantis untuk tema percintaan. Ketiga, Syair Kiasan untuk penyampaian pesan terselubung. Keempat, Syair Sejarah; dan kelima, Syair Agama. Dengan demikian, penyair pun memiliki tanggung jawab sosial dalam memasyaratkan bahasa sebagai salah satu bagian terpenting dalam pembentukan karakter bangsa.
Penyair memang bukan manusia nirkhilaf. Namun, sebaiknya penyair tidak berlindung di balik syair untuk menjadikan dirinya bebas nilai—yang lantas seolah bebas berbuat apa saja atas nama proses kreatif untuk menemukan dan menata satu demi satu kata sampai sempurna sebagai makna. Tentang syair dan kepenyairan, tidak ada salahnya jika kita belajar pada Muhammad Saw yang pernah dicap sebagai penyair gila. Anak yatim piatu dari Abdullah dan Aminah itu dituduh menyusun sendiri perkataannya untuk kemudian diklaim sebagai ayat-ayat suci. Allah Swt memberikan penjelasan dalam QS. al-Haaqqah [69] (Hari Kiamat, dan sejumlah catatan penting tentang penyair dalam QS. asy-Syu'ara [42] (Para Penyair).
Dalam QS. al-Haaqqah [69]: 41-45, Allah memastikan al-Quran bukan perkataan penyair, bukan pula ucapan tukang tenung, melainkan wahyu yang diturunkan-Nya kepada Muhammad Saw. Diperkuat dengan QS. al-Hijr [15]: 9 yang berbunyi, "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami benarbenar memeliharanya." Dalam (QS. asy-Syu'ara [42]), para penyair dikategorikan menjadi tiga. Kesatu, pada ayat 224 disebutkan, "Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang sesat." Kedua, pada ayat 225 dijelaskan, "Mereka mengembara ke lembah-lembah." Lembah adalah tanah rendah, simbol dari kedudukan dan perilaku rendah. Ketiga, pada ayat 226 ditegaskan, "Mereka suka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan," alias suka berdusta.
Tapi, seluruh tidak pernah bermakna setiap. Pun ketika Tuhan menggunakan diksi "para penyair," tentu tidak lantas dimaksudkan memukul rata seluruh penyair, tidak pula menyarangkan pukulan sama rasa pada setiap penyair. Mereka yang beriman, berbuat saleh, dan setia menyebut nama tuhan—juga dalam syair; adalah suatu pengecualian dalam definisi Allah tentang para penyair di atas. Tak mengherankan ada saja penyair yang meski telah wafat, syairnya masih hidup dari zaman ke zaman, abadi. Dengan kata lain, tidak setiap penyair diikuti orang-orang sesat, bermoral rendah, dan suka berdusta dalam keseharian maupun berkarya. Selalu ada penyair yang mendakwahkan kebaikan dan k ebenaran melalui syair-syairnya.
Syair yang berasal dari kosakata Arab, syu'ur, bermakna perasaan, sejatinya memang kendaraan terbaik untuk perasaan. H. M. Nidhom As-Sofa, pengasuh Pesantren Ahlus Sofa wal Wafa, Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur, adalah contoh nyata sosok kiyai penyair yang cerdas mengolah rasa. Terbukti dari "Syi'ir Tanpo Waton" yang Gus Nidhom ciptakan. Meski segelintir Nahdliyin masih menyangka syair tersebut di atas dinyanyikan oleh Gus Dur, Sang Bapak Bangsa. Inilah bukti keagungan syair jika ditulis untuk mensyiarkan tidak hanya syariat, tapi juga tarekat, hakikat, dan makrifat.
Sastrawan juga manusia yang manusiawi jika mengalami pubertas. Sewajarnya mengalami pasang-surut dalam proses berkarya. Jika memilih jalan hidup dan menjalani hidup sebagai sastrawan harus dengan syarat menanggalkan hal-hal manusiawi, salah satunya dengan mengebiri pubertas, mahkota apa yang ditawarkan oleh dunia kesusastraan? Justru menjadi sastrawan adalah jalan mencapai derajat Insan Kamil. Dalam derajatnya yang tertinggi, bahkan sastra diperlakukan sebagai ajaran yang membawa pada kedamaian karena mampu menghapuskan sifat-sifat buruk. Sastra diyakini sanggup memerdekakan manusia dari penjajahan raksasa-raksasa hawa nafsu dan angkara murka.
Dalam khazanah Ilmu Jawa, termasyur apa yang disebut sebagai Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dalam pewayangan, inilah ilmu paling luhur yang diajarkan Bima Suci kepada Arjuna. Sastra adalah tulisan, Jendra ialah ajaran, Hayuningrat berarti kedamaian semesta, Pangruwat itu pembersih, Diyu bermakna raksasa-pralambang sifat-sifat buruk. Ini mengukuhkah betapa sastrawan bukanlah profesi yang karirnya dibangun dari mengirim puisi ke redaksi koran, bukan pula dari memanggungkan naskah teater belaka. Dalam ‘Sajak Sebatang Lisong,’ W.S. Rendra bahkan mengkritik kegenitan penyair-penyair salon, "... yang bersajak tentang anggur dan rembulan/ sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya/ .."

            Dalam sajak bertarikh 1978 itu, Rendra pun bertanya, "Apa arti kesenian bila terpisah dari derita lingkungan?" Nah, sekali lagi, jika sastrawan hanya berkutat dengan mesin ketik, kertas, dan panggung, benarkah sastra telah dimasyarakatkan dengan sungguh-sungguh? Sastrawan juga manusia, memang, tapi bukan sembarang manusia. Ini klan tinggi yang walau suka mengembara ke tanah rendah tetap tak seharusnya kehilangan kemanusiaan. Toh mengalami pubertas bukan berarti harus menulis syair cinta dari kamar terkunci. Syair sesungguhnya ibu yang dari rahimnya lahir seorang penyair. Selaiknya ikrar bakti, sejak dilahirkan dan bertumbuh, janganlah penyair justru mempermalukan ibunya. Pun, apa jadinya jika sastrawan mendurhakai sastra? []

*Praktisi Tasawuf dan Wakil Ketua PP Lesbumi PBNU.

SASTRA dan sastrawan terus-menerus dilahirkan dan disambut euforia yang tak selalu sama. Sastra atau shastra, dari bahasa Sansekerta, yang berakar dari sas atau ajaran, tak jarang terperosok ke lembah yang senyap dan tidak terjangkau oleh dalil, tidak pula oleh dalih