"Sini duduk dulu. Kopinya disruput dulu", jawabku.
"Kenapa? Ada apa? Maksudnya tadi apa, Kang?", tanyaku padanya sebelum dia selesai menyeruput kopi.
Masih dengan mimik serius, dia berkata,"MATAN itu kan organisasi Thariqah, tapi kok ngurusinnya dagang terus. Dagang kaos lah, dagang bawang borneo lah. Malah nggak keliatan kegiatan Thariqahnya. Yang keliatan hanya dagang dan dagang".
Sambil tersenyum dan menikmati kretek khas Nusantara, saya menjawab dengan balik bertanya, "Lha emang nggak boleh orang Thariqah berdagang?".
Gini lho kang, jawabnya bersemangat, sampean ini ngajak anak muda berthariqah aja udah aneh dan nggak umum, apalagi ini berthariqah tapi sibuk dagang. Anak muda kok berthariqah. Berthariqah itu nanti aja kang, kalau udah tua. Ya gini ini kalau masih muda berthariqah. Berthariqah bukan sibuk berdzikir dan beribadah tapi malah sibuk dagang.
"Kang, kalau nunggu tua, apa sampean bisa umurnya sampai tua? Apa ada nash yang melarang anak muda berthariqah? Apa ada nash atau pendapat ulama yang melarang ahli Thariqah berdagang?", saya balik bertanya.
Dia hanya diam.
"Kita selama ini telah dibodohi penjajah agar kaum muda tidak berthariqah sehingga kaum muda tidak punya pegangan dan tidak punya rasa cinta pada Ulama dan Baginda Nabi. Kita juga dibohongi kalau berthariqah itu nggak boleh berdagang, nggak boleh kaya. Jadi orang menjauhi thariqah karena takut miskin. Takut gak bisa mencari harta atau nafkah", saya menjelaskan. Dia masih diam.
Saya melanjutkan, "Para Imam Thariqah seperti Syekh Abdul Qadir Al Jilani, Syekh Abul Hasan Asy Syadzili, Syekh Abul Qasim Junaidi Al Baghdadi itu orang yang kaya raya. Islam juga mengajak kita agar kaya. Kita zakat, infaq, shadaqah, haji itu butuh harta. Itu semua bisa kita laksanakan kalau kita punya harta. Mau sampai kapan ternina bobo, kang?".
Harus sampean tahu kang, saya melanjutkan, kiai-kiai kita itu sebelum membuat NU, buat Nahdlatut Tujjar dulu. Kebangkitan para pedagang. Artinya, kiai-kiai kita sebelum membuat Nahdlatul Ulama, membangun pondasi ekonomi yang kuat melalui Nahdlatut Tujjar, baru setelah itu tashwirul afkar dan Nahdlatul Ulama. Kiai-kiai kita dulu itu kaya raya. Sawahnya berhektar-hektar. Seperti Kiai Muhtadi Benda Kerep, Kiai Abbas Buntet, sehingga dalam berdakwah beliau-beliau mandiri ekonomi dan tidak mengharapkan amplop atau sekarang proposal. Paham kang?
Dia masih diam. Menundukkan kepala. Kulihat ternyata dia tertidur.
Sumber: Oon
Posting Komentar