Sejarah Singkat Perang Santri atau Perang Kedongdong

Sebuah pertempuran besar luput dari catatan sejarah nasional. Pertempuran tersebut terjadi di Kedongdong (1793-1808). Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan.

Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Pergolakan melawan belanda bertambah hebat, Setelah Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah kolonial Belanda. Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung bersama rakyat untuk melakukan perlawanan.

Di bawah pimpinan sang pangeran, semangat rakyat semakin membara sehingga perlawanan sengit terjadi di mana-mana. Pasukan Belanda pun semakin terdesak, mereka mengalami kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja kehilangan ribuan nyawa prajuritnya, tapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden untuk mendanai perang tersebut. Dalam keadaan putus asa menghadapi perlawanan rakyat di bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan pasukan, bahkan Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis yang berada di Malaka, untuk membantu mereka meredam perlawanan rakyat Cirebon.

Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan pasukan Belanda, yang didukung oleh kekuatan tentara Portugis di Pelabuhan Muara Jati, tidak membuat ciut perlawanan rakyat. Justru sebaliknya semangat perlawanan mereka semakin menjadi. Salah satu perang besar sekaligus monumental ialah Perang Kedondong, terjadi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak rakyat, perang itu dipimpin oleh Raden Bagus Serangin.

Setelah menjalani pertempuran cukup lama, akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi perlawanan rakyat secara frontal. Merekapun mencari cara untuk melumpuhkan semangat perlawanan rakyat. Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran Kanoman, karena dibawah kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat semakin berkobar.

Dalam perlawanan itu, melalui siasat licik Belanda, Pangeran Raja Kanoman tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng Belanda di Batavia (Jakarta), sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng Viktoria, Ambon, Maluku. Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti seluruh gelar darah birunya. Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta sultan di Keraton Kanoman. Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin. 

Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Cirebon. 

Belanda makin kewalahan. Melalui para pimpinan perlawanan, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman dikembalikan, perlawanan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. meski dia tak berhak atas kesultanan di Keraton Kanoman.
Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln. By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.

Walaupun luput dari catatan sejarah nasional, Perang Kedongdong ternyata memiliki arti tersendiri bagi Belanda. Pertempuran yang memakan kerugian besar bagi Belanda, baik harta maupun nyawa. Kecamuk Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.

Perlawanan yang diberikan oleh Pangeran Suryanegara beserta rakyat Cirebon dalam Perang Kedongdong, dapat kita setarakan dengan sengitnya perlawanan yang di berikan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol maupun Cut Nyak Dien. Karena itu sudah sepantasnya pertempuran tersebut dicatat dalam sejarah sebagai pertempuran yang bersifat nasional bukan hanya sekedar pertempuran masyarakat lokal. Wallahu A’lam

Sebuah pertempuran besar luput dari catatan sejarah nasional. Pertempuran tersebut terjadi di Kedongdong (1793-1808). Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan.