Habib Luthfi: Gerimis itu Rahmat Allah

Di malam ke-25 Ramadlan 1433 H, gerimis rintik-rintik membahasi tanah Pekalongan. Daerah lain masih banyak yang kekeringan atau kekurangan air, namun kami sudah merasakan sejuknya rintik gerimis dan wanginya bau tanah yang disirami gerimis.

Malam itu, kami masih baru memulai mengaji kitab Fathul Bari (Syarh Shohih Bukhori) di bawah asuhan guru kami yang mulia, al-‘alim al-‘allamah al-‘arif billah al-mursyid al-kaamil Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, dan bertempat di garasi mobil dan halaman rumah Maulana Al-Habib, sehingga kami yang memperoleh tempat duduk di halaman ndalem, merasakan bagaimana sejuknya dan dinginnya air gerimis yang menetes tanpa permisi itu. Akan tetapi, malam itu Maulana Al-Habib tidak menyuruh kami pindah atau menepi ke garasi yang beratap. Sehingga, kami pun tak berani untuk beranjak dari tempat duduk kami, karena kuatir kami menjadi murid yang suu-u al-adab. Malam itu, seakan-akan Maulana Al-Habib membiarkan kami berbasah-basah ria, atau menyuruh kami menikmati gerimis yang turun dengan penuh kelembutan.

Namun, nampaknya Maulana Al-Habib melihat kami mulai gelisah dan tidak nyaman karena pakaian dan buku kami mulai basah oleh gerimis. Sehingga Maulana Al-Habib pun menyuruh kami untuk segera menepi atau masuk berdesak-desakkan di dalam garasi yang beratap. Sambil menyuruh kami menepi ke tempat yang teduh, beliau berpesan kepada kami, agar kami berteduh tidak diniati menghindari rahmat Allah. Bahkan Maulana Al-Habib pun melanjutkan bahwa gerimis yang turun ini menandakan bahwa malam ini (25 Ramadlan 1433-red) adalah malam lailatul qadar. Sontak saja wajah kami berubah ceria dan berseri-seri, bahkan diantara kami ada yang menatap langit, dan dari bumi langit Nampak bersinar terang, sekalipun gerimis turun.

Gerimis adalah rahmat, hujan adalah berkah. Begitulah pesan para sesepuh kami. Begitulah pesan raja Tarumanegara. Dan saya pikir, Maulana Al-Habib pun sepakat dengan statemen tersebut. Namun, kita seringkali bersikap seakan-akan hujan adalah musuh, seakan-akan hujan adalah bencana, bukan berkah, bukan rahmat, sehingga tak jarang kita begitu membenci hujan, dan selalu menyalahkan hujan jika terjadi banjir atau tanah longsor. Kita lupa, bahwa kita sering berdoa minta kepada Tuhan agar Tuhan menurunkan hujan di saat musim kemarau membuat tubuh dan tanah kita panas, membuat sumur-sumur tak lagi berarti, dan tanah-tanah retak. Kita lupa, bahwa hujan hanya menjalankan tugasnya menyirami bumi agar bumi segar, agar bumi bersih, bak kita sedang berhadats besar kemudian kita mandi jinabat, dan bumi pun perlu mandi jinabat akibat kelakuan kita sendiri yang suka menodai kesucian dan kehormatan sang bumi.

Padahal di daerah-daerah lain semisal di beberapa daerah pulau Kalimantan, atau kabupaten demak, hujan di posisikan sebagai keberkahan, kebutuhan, dan sahabat, sehingga ketika hujan turun tidak serta merta air hujan itu dibuang, namun ditadahi dengan tempat khusus semacam penampungan air atau tandon, dan kemudian ketika musim kemarau tiba, air-air hujan itu dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak, minum, dan mandi.

Sebagai manusia biasa yang menjadi tempatnya salah dan lupa, hendaknya kita selalu mengingat bahwa banjir dan tanah longsor bukan salah hujan yang turun, namun itu salah kita sendiri yang membiarkan diri kita diperbudak oleh nafsu dengan cara membuang sampah di kali atau selokan, menebang pohon secara membabi buta, sehingga hutan-hutan dan pegunungan menjadi gundul, atau menjadi hutan beton. Selain itu, drainase-drainase yang tidak berfungsi karena salah penempatannya atau desainnya pun ikut menyumbang genangan air di samping juga semakin sedikitnya pohon-pohon di kota atau pemukiman.

Akhirnya, sudah sepatutnya kita berintrospeksi diri melihat bencana banjir dan longsor yang seperti jalan tak berujung ini, karena sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Khidir AS, bahwa air akan menjadi api kalau tidak kita gunakan untuk berwudlu. Wallahu A’lam.

Sumber: Oon

Di malam ke-25 Ramadlan 1433 H, gerimis rintik-rintik membahasi tanah Pekalongan. Daerah lain masih banyak yang kekeringan atau kekurangan air, namun kami sudah merasakan sejuknya rintik gerimis dan wanginya bau tanah yang disirami gerimis.