Dengan tujuan menghilangkan sifat-sifat kealpaan dan kelupaan diri kepada Tuhannya. Sifat-sifat itu perlu diberantas. Karena inilah sumber perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang dilakukan manusia. Termasuk terhadap pelanggaran hukum agama dan sebagainya. Kalau kealpaan atau kelupaan itu busa diberantas, minimal dia akan selalu merasa dilihat dan didengar Allah swt.
Contoh kecil, banyak orang tahu bahwa paku kecil yang tercecer di jalan, entah berkarat atau tidak, itu berbahaya. Begitu melihat, dia tahu bahwa itu paku, tapi belum menjadi bukti bahwa dia adalah orang yang ingat kepada Allah kalau belum mau mengangkat dan membuang ke tempat yang tidak membahayakan. Sebab daerah itu biasa dilalui anak-anak untuk bermain atau orang yang lewat di sana.
Selanjutnya untuk menilai muktabar atau tidaknya sebuah tarekat, harus dilakukan seperti kita mempelajari ilmu hadits. Ada jalur sanad-sanadnya, mulai dari ulama, auliya, sahabat, Rasulullah dan tentu bermuara ke Allah. Lantas semua yang ada di dalamnya itu tidak boleh melanggar semua isi al Quran dan hadits. Tinggal bagaimana orang yang membicarakan itu. Kalau dia masih TK, pasti pembicaraannya seperti anak-anak, demikian halnya anak SD, SMP, SMA. Senebagaimana pendidikannya. Demikian juga dalam hal perilakunya.
Jemaah wirid bisa dinamakan pengikut tarekat. Karena al Quran dan Hadits itu adalah pedoman orang-orang ahli tarekat. Yang penting tarekat itu adalah buah syariat. Bukan syariat itu buah tarekat.
Contoh mudahnya adalah masalah wudhu. Wudhu adalah penghantar kita melaksanakan shalat. Setelah shalatnya sesuai dengan ketentuan, syaratnya, rukunnya, batalnya atau tidaknya, barulah kita dapat mengetahui semuanya, termasuk buah dari shalat itu apa. Di sinilah tarekat itu berbicara. Buah orang shalat adalah semakin jauh dari ahli neraka. Dan cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya itu lebih tinggi, lebih tinggi, dan begitu seterusnya. Dan sebaliknya, kemaksiatan akan semakin terhapus.
Di Indonesia, kita mengenal ada sebanyak 41 tarekat Mu'tabarah, tetapi pecahannya (cabangnya) banyak. Perumpamaan tidak ikut tarekat yang tidak muktabar itu seperti kita mau pergi ke Jakarta, kemudian ada kereta api dan bus jurusan Jakarta, lalu kita naik sembarang truk yang lewat asal sampai Jakarta misalnya, apakah itu bisa disebut disiplin? Mengapa harus mengikuti yang belum jelas sedangkan yang jelas-jelas ada sudah tersedia?
Jelasnya, fungsi, definisi, dan kedudukan suatu tarekat harus dilihat dari kedudukan mata rantainya kepada Rasulullah, hingga mendapat predikat apakah sebuah tarekat itu muktabar atau tidak, sebagaimana istilah hadits itu adalah kesahihannya. Wallahu a’lam
Sumber : Habib Luthfi dalam buku “Mengenal Tarekat ala Habib Luthfi”, hal. 11-13.
Posting Komentar