Belajar dari Sejarah Berdirinya Nahdhatul Ulama

Di akhir era kekuasaan Dinasti Turki Utsmani, pengaruh Turki Utsmani di wilayah kekuasaannya mulai meluntur, bahkan beberapa wilayah berani memisahkan diri. Demi tetap berwibawanya Kesultanan dan agar Tanah Haram (Makkah dan Madinah) tidak melepaskan diri dari Kesultanan Turki Utsmani, maka Turki Utsmani mengangkat Syarif Husein, seorang Ulama keturunan Rasulullah SAW, sebagai Gubernur.

Hasilnya, Tanah Haram semarak dengan iklim keilmuan dan ibadah. Banyak Ulama dan pelajar yang mukim di Makkah dan Madinah. Tetapi, banyaknya Ulama dan pelajar dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah itu tidak diwadahi dalam satu organisasi, sehingga saat Wahabi dan Bani Saud datang untuk menguasai Makkah dan Madinah, dengan mudah Ulama dan pelajar Ahlussunnah wal Jamaah dicerai berai karena tidak adanya wadah yang menyatukan.

Melihat kondisi yang demikian dan semakin tersebarnya faham wahabi yang mudah mengkafirkan muslim lain, sehingga mudah menghalalkan darah muslim yang berbeda, misal banyak juga Ulama yang dibunuh oleh sekte wahabi di Makkah dan Madinah karena dianggap kafir di awal kemunculan wahabi, maka Ulama asal Nusantara berfikir dan bermusyawarah agar Wahabi tidak bisa melebarkan sayapnya di Nusantara.

Hasilnya, Ulama Nusantara yang Ahlussunnah wal Jamaah sepakat untuk membuat satu wadah organisasi yang bisa menyatukan Ulama, pelajar, dan masyarakat yang berakidah Ahlussunnah wal Jamaah sehingga kejadian pada masa Syarif Husein di Makkah dan Madinah tidak terulang di Nusantara.

Itu tanda betapa Ulama pendiri Nahdlatul Ulama benar-benar belajar dari pengalaman dan sejarah. Andai tidak ada wadah pemersatu Ulama dan umat, bisa jadi kondisi Negara kita sekarang tidak jauh berbeda dengan yang sekarang menimpa saudara muslim kita di Suriah, Irak, Afghanistan, dan lain-lain.

Oleh karena itu, oknum-oknum yang tidak suka dengan damainya Indonesia dan suburnya ajaran Ahlussunnah wal Jamaah berusaha sebisa mungkin sekuat tenaga untuk membubarkan Nahdlatul Ulama atau setidaknya menghilangkan kepercayaan umat terhadap NU dan menggembosi NU.

Diantara yang sering kita dengar adalah serangan fitnah terhadap tokoh sentral NU, mengadu domba antar tokoh NU, dan lain-lain. Selain itu, juga pendapat yang menyatakan "Tidak NU tidak apa-apa, yang penting Ahlussunnah wal Jamaah". Sekilas pendapat itu benar, apalagi keluar dari lisan tokoh yang mengamalkan dan menyebarkan Ahlussunnah wal Jamaah. Tetapi, jika sang tokoh belajar dari sejarah awal mula sekte wahabi di masa Syarif Husein, tentu pendapat seperti itu tidak akan keluar. Malah akan mewajibkan diri dan jamaahnya untu menjaga dan mempertahankan NU sebagaimana yang dilakukan dan disampaikan oleh Maulana Habib Luthfi.

Inilah mengapa kita perlu belajar sejarah. Pertanyaannya adalah, menjelang harlah NU ke-90, sudahkah kita warga NU khususnya Pengurus dan generasi muda NU benar-benar menjaga persatuan sesama Ahlussunnah wal Jamaah meskipun berbeda pendapat sebagaimana sejarah awal alasan berdirinya NU?

Sumber: Oon

Di akhir era kekuasaan Dinasti Turki Utsmani, pengaruh Turki Utsmani di wilayah kekuasaannya mulai meluntur, bahkan beberapa wilayah berani memisahkan diri. Demi tetap berwibawanya Kesultanan dan agar Tanah Haram (Makkah dan Madinah) tidak melepaskan diri dari Kesultanan Turki Utsmani, maka Turki Utsmani mengangkat Syarif Husein, seorang Ulama keturunan Rasulullah SAW, sebagai Gubernur.